Sang Ayu Ketut Muklen Takut Legong Ala Bedulu bakal Punah
Inilah sosok penari legong satu-satunya yang masih kukuh mempertahankan gaya tradisional Bedulu. Dalam usia 81 tahun Sang Ayu Ketut Muklen masih menggetarkan ketika ia menggerakkan tangan dan tubuh untuk menarikan cuplikan legong kraton. Keriput kulitnya tak menghilangkan pesona yang terpancar dari ekspresi wajah dan tubuhnya.
Sang Ayu atau Sak Niang. Begitu biasanya orang-orang terdekat memanggilnya. Ia mengaku sering gelisah, khawatir legong yang ditekuninya bakal punah, sebab hingga kini ia belum tergantikan. Sang Ayu memang total menyerahkan hidupnya untuk tari. Menurutnya, gerakan-gerakan tari legong gaya Bedulu tidak rumit. “Tapi penarinya harus memiliki kedalaman rasa. Mungkin itu yang membuatnya tidak mudah,” ujarnya. Di senja usianya, Sang Ayu hanya berharap namanya tak dilupakan orang dan tari legong tidak punah. Untuk itu ia membuka lebar pintu rumahnya bagi siapa saja yang ingin belajar padanya. Sejak dulu hingga puluhan tahun pintu itu tetap begitu, tetap terbuka. Pertama kali belajar kesenian di banjar di desanya ketika ia berusia 8 tahun. “Diawali belajar arja, saya sebagai Limbur-nya. Guru yang mengajar dari Pejeng, Gung De Grudung (alm). Setelah belajar 6 bulan, sudah kebagian ngelawang (main arja berkeliling ketika hari raya Galungan),” tutur Sang Ayu. Semasa belajar menari itu semua biaya ditanggung banjar. Ia tinggal berlatih. “Tak lama sesudah itu banjar berkeinginan membentuk legong. Di usia 9 tahun saya dengan dua teman lainnya, Byang Ruta (sekarang sudah tidak menari lagi) dan Sak Ayu Kejur (alm.) dipilih sebagai penari legong. Saya Legong Lasem, jadi lakinya. Guru legongnya berasal dari Bedulu Delodan, masih muda, namanya Nyoman Camplung (alm),” kenang perempuan yang telah bercucu-cicit itu. Ia mengaku mulai berlatih sejak jam 8 pagi. Siang, jam 12, istirahat makan. Jam 1 mulai lagi sampai jam 5 sore. “Rasanya lebih sibuk dari mereka yang sekolah tari,” ujar Sang Ayu. Sore, ketika gurunya pulang ke Bedulu, ia dan tiga temannya tadi ikut sang guru, berjalan kaki sejauh kira-kira 5 km. Di rumah sang guru, biasanya ia dan teman-temannya dipijat, diinjak-injak, di-apun (diluluri minyak), diurut. Tak sekali dua kali tubuh murid-murid muda berlatih dengan membalikkan tubuh, sampai-sampai rambut menyapu lantai. Olah tubuh seperti itu masih diikuti dengan gerakan-gerakan seperti kayang. Pokoknya serem. Tujuannya jelas, agar tubuh menjadi lemas. Maklum, dalam tari legong playon kraton memang ada gerakan seperti orang kayang. Perlu tubuh yang sangat lentur untuk memainkannya. “Guru zaman dulu memang galak-galak,” tutur Sang Ayu sembari ketawa kecil. Bayangkan saja, saat diinjak-injak oleh gurunya, Sang Ayu dan kawan-kawan merasakan sakit tak terperi. Ingin menangis tapi takut. “Kalau ketahuan menangis, malah dipukul,” ujarnya. Setiap hari “siksaan” seperti itu dirasakannya. “Kayaknya jauh sekali perbedaan cara mengajar dulu dengan sekarang. Kalau sekarang, disentuh sedikit saja anak-anak sudah ngambul,” ungkap Sang Ayu. Untuk belajar tari legong playon diperlukan waktu 6 bulan dengan disiplin yang sangat ketat. Ada tujuh “nomor” dalam tari itu, yakni Condong, Bapang Kecil, Bapang Besar, Pengadeg, Pengawak, Pengecet, dan Penutup. Setiap nomor memiliki gerakan yang berbeda. Gending tari juga berganti terus. “Saya memang khusus latihan legong lengkap setiap hari sampai fasih betul,” ujar Sang Ayu.
Disadur dari Majalah TOKOH Senin, 26-September-2005
Bali Ganda Sari
Bali Ganda Sari adalah salah satu sanggar tabuh dan tari klasik yang memiliki moto Homage To Tradition. Sanggar ini dibentuk oleh I Gusti Made Sudiarsa, dimana telah merekontruksi beberapa tari dan tabuh klasik yang hampir punah, salah satunya adalah LEGONG BEDULU.
Sunday, May 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment